Pada tanggal 25 Desember 2024, penulis bersama keluarga berkesempatan berziarah ke makam Sunan Drajat, salah satu dari Wali Songo yang terkenal dengan peran pentingnya dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Beliau dikenal tidak hanya sebagai penyebar agama, tetapi juga sebagai sosok yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ajaran dan tindakannya lebih menekankan pada etos kerja keras, empati, serta kedermawanan, yang diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran, dan solidaritas sosial.
Sunan Drajat mengajarkan pentingnya gotong royong dan saling membantu untuk menciptakan kesejahteraan sosial. Beliau mengutamakan kesejahteraan masyarakat, terutama kaum miskin, dengan melakukan berbagai langkah nyata. Melalui ajarannya, Sunan Drajat mengajarkan cara membangun rumah, membuat alat-alat sederhana seperti tandu dan joli, serta cara mengelola kehidupan sosial secara bersama-sama dalam komunitas. Setiap tindakan beliau bertujuan untuk memperbaiki kehidupan umat, tidak hanya secara spiritual, tetapi juga secara material.
Biografi Sunan Drajat
Raden Qasim, yang dikenal sebagai Sunan Drajat, diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi dan merupakan putra bungsu dari Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila. Ia memiliki darah keturunan Sunan Bonang dan berasal dari keluarga yang mempunyai hubungan erat dengan wilayah Samarkand dan Champa. Kakek Sunan Drajat bahkan berasal dari negeri Tyulen di Kazakhstan, menjadikannya seorang yang memiliki latar belakang multikultural.
Sunan Drajat dididik di lingkungan keluarga ibunya yang berasal dari Jawa, menguasai ilmu, seni, budaya, dan agama bercorak Jawa. Selain itu, ia juga belajar langsung dari ayahnya, Sunan Ampel, dan kemudian dikirim untuk menuntut ilmu lebih lanjut kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Sunan Drajat melanjutkan dakwahnya di pesisir barat Gresik. Perjalanan dakwahnya dimulai dengan perahu yang pecah di laut, dan beliau diselamatkan oleh ikan cucut dan ikan talang. Beliau kemudian mendarat di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Jelag, Desa Banjarwati, yang menjadi titik awal dari perjuangannya untuk menyebarkan Islam. Di sana, Sunan Drajat mendirikan sebuah surau yang menjadi tempat bagi masyarakat untuk mempelajari agama dan bacaan Al-Qur'an.
Ajaran Sunan Drajat: Pepali Pitu
Salah satu ajaran yang terkenal dari Sunan Drajat adalah "Pepali Pitu" atau tujuh falsafah hidup yang dijadikan pedoman bagi masyarakat. Ajaran ini berisi prinsip-prinsip kehidupan yang mengutamakan kebaikan hati, kewaspadaan, kerja keras, dan kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang membutuhkan.
Berikut adalah tujuh falsafah hidup yang diajarkan oleh Sunan Drajat:
- Memangun resep tyasing sasama (Membuat senang hati orang lain).
- Jroning suka kudu eling lan waspodo (Dalam suka hati, ingat Tuhan dan waspada).
- Laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah (Berjuang mencapai tujuan luhur tanpa peduli rintangan).
- Meper hardaning pancadriya (Menekan gejolak nafsu indrawi).
- Heneng - hening - henung (Keheningan membawa kebebasan mulia).
- Mulya guna panca waktu (Mencapai kemuliaan dengan menjalankan sholat lima waktu).
- Menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong kang luwe. Menehono busana marang wong kang wuda. Menehono pangiyup marang wong kang kaudanan (Berikan bantuan kepada orang buta, beri makan kepada yang lapar, beri pakaian kepada yang telanjang, beri tempat berteduh kepada yang kehujanan).
Ajaran-ajaran tersebut sangat relevan dalam kehidupan sosial sehari-hari, mengajarkan kita untuk peduli kepada sesama, terutama kepada mereka yang kurang beruntung.
Sunan Drajat tidak hanya terkenal sebagai seorang penyebar agama Islam yang ulung, tetapi juga sebagai seorang pemimpin sosial yang peduli terhadap kesejahteraan masyarakat. Ajaran dan tindakan beliau yang menekankan solidaritas sosial, kedermawanan, dan gotong royong, masih relevan dan memberikan inspirasi bagi kita semua dalam mengatasi berbagai masalah sosial yang ada saat ini. Berziarah ke makamnya pada 25 Desember 2024, penulis merasakan kedamaian dan kearifan yang tercermin dari ajaran-ajaran beliau, yang patut kita teladani dalam kehidupan sehari-hari.
0 Komentar